Penelitian Iklim

Agenda terbaru dalam bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di PRODI Teknik Pertanian.

Tahun akademik 2017/2018 terdapat beberapa agenda penelitian diantaranya:

1.  Karakteristik Curah Hujan di Provinsi Kalimantan Timur 
2.  Prediksi Curah Hujan di Wilayah Kalimantan Timur 


Bagi mahasiswa yang berminat untuk bergabung dalam kegiatan penelitian tersebut,  silahkan menghubungi dosen yang bersangkutan.

Penelitian Irigasi

Agenda terbaru dalam bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di PRODI Teknik Pertanian.

Tahun akademik 2017/2018 terdapat beberapa agenda penelitian diantaranya:

1.  KINERJA JARINGAN IRIGASI DI KECAMATAN KAUBUN.
2.  Penentuan Sistem Irigasi di Kecamatan Bengalon.


Bagi mahasiswa yang berminat untuk bergabung dalam kegiatan penelitian tersebut,  silahkan menghubungi dosen yang bersangkutan.



Kinerja Sistem Irigasi Sprinkler

Irigasi curah (sprinkler irrigation) adalah pemberian air irigasi dengan cara menyemprotkan air ke udara dan menjatuhkannya di sekitar tanaman seperti hujan. sistem irigasi ini pemakaiannya sangat luas, untuk berbagai jenih tanah dan pada topografi dan kemiringan yang berbeda, maupun pada berbagai jenis tanaman.


Komponen sistem irigasi sprinkler terdiri:
 1.      Unit pompa, digunakan untuk mengambil air dari sumber air irigasi disamping menyediakan tekanan yang cukup untuk mengalirkan air ke jaringan pipa.
2.      Pipa utama (mainline) dan pipa sub-utama (submainline), pipa yang berfungsi mengalirkan air dari pompa ke pipa lateral. Pada beberapa contoh pipa ini ditempatkan secara permanen baik di permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah, namun ada juga yang dapat dipindahkan (portabel). Bahan pipa yang dapat digunakan besi, galvanis, semen, PVC, maupun aluminium alloy.
3.      Pipa lateral, mengalirkan air dari pipa utama atau sub-utama ke sprinkler, penempatanya bisa permanen maupun portabel. Bahan pipa yang dapat digunakan besi, galvanis, semen, PVC, maupun aluminium alloy.
4.      Sprinkler, alat untuk menyemprotkan air.
5.    Komponen lainnya: saringan, katub pengontrol aliran, katub sadap, katub pengaman, tangki injeksi.
Gambar 1. Komponen utama dan layout sistem irigasi sprinkler 

Sistem irigasi sprinkler mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya:
1.  dapat menyesuaikan pada berbagai bentuk topografi lahan, maupun jenis tekstur tanah.
2.  dapat digunakan untuk mencegah pembekuan tanaman
3.  jumlah tenaga kerja dalam sistem irigasi dapat dikurangi
4.  dapat digunakan untuk tujuan khusus seperti kontrol/memodifikasi kondisi cuaca ekstrim
5.  mempunyai efisiensi yang tinggi dalam penyimpanan air
6.  pemupukun, pemberantasan hama menggunakan pestisda dan amandemen tanah dapat dilakukan bersamaan irigasi pada sistem sprinkler sehingga lebih ekonomis dan efektif.

Kerugian sistem irigasi sprinkler diantaranya:
1. dibandingkan dengan irigasi permukaan, sistem irigasi sprinkler membutuhkan biaya investasi yang tinggi.
2.  kualitas air akan mempengaruhi kualitas produk tanaman maupun sistem irigasi itu sendiri, misal air yang bersifat asam akan menimbulkan korosi pada bagian sistem irigasi yang terbuat dari besi.
3.  sistem irigasi tidak cocok pada lahan dengan laju infiltrasi kurang dar 3 mm/jam
4. sistem irigasi sangat dipengaruhi oleh angin dan kondisi yang sangat kering akan menyebabkan nilai efisensinya rendah.
5. selain bentuk lahan bujur sangkar, tidak cocok untuk sistem irigasi sprinkler, terutama sprinkler otomatis.

Kinerja sistem irigasi sprinkler dapat dinyatakan dalam lima parameter, yaitu debit sprinkler (sprinkler discharge), jarak pancaran (distance of trhrow), pola sebaran air (distribution pattern), harga pemberian air (application rate), dan ukuran rintik air (droplet size). Keseragaman distribusi merupakan komponen penting dalam penilaian kinerja sistem irigasi di lahan. Keseragaman distribusi yang tinggi sangat dibutuhkan untuk  memperoleh efisiensi  yang tinggi.

Efisiensi aplikasi irigasi terdiri dari dua elemen, yaitu kehilangan air dan keseragaman aplikasi. Pada saat kehilangan air tinggi, atau keseragaman aplikasi rendah, maka akan menghasilkan efisiensi yang rendah. Faktor kehilangan dalam irigasi sprinkler adalah evaporasi dari titik air dan permukaan tanah yang basah, transpirasi dari tanaman penganggu, kehilangan air karena tiupan angin, maupun tidak terdapatnya border.

Koefisien Keseragaman (CU)
Efisiensi distribusi adalah ukuran ketidakmerataan aplikasi dan biasanya digunakan istilah keseragaman/koefisien keseragaman yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap efisiensi aplikasi. keseragaman irigasi secara aktual dapat diartikan variasi, ketidakseragaman dalam jumlah air yang diaplikasikan pada lokasi di dalam area irigasi. Penelitian awal terhadap keseragaman sistem irigasi sprinkler dilakukan oleh Christiansen tahun 1942, sehingga sampai sekarang persamaan tersebut dikenal dengan Christiansen Coefficient Uniformity (CU).
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa nilai CU yang rendah merupakan indikator kegagalan dalam mengkombinasikan faktor-faktor diantaranya ukuran nozzle, tekanan sprinkler dan jarak peletakan (spacing) sprinkler. Selain itu kharakteristik sprinkler (jumlah dan bentuk nozzle, sudut lemparan), ukuran nozzle, tekanan sangat mempengaruhi kinerja dari sprinkler.

















Koefisien keseragaman Christiansen merupakan indikator yang umum digunakan untuk mengukur keseragaman aplikasi irigasi. CU mengukur deviasi rata-rata dari nilai rerata kedalaman aplikasi. Berikut adalah tabel nilai koefisien keseragaman (CU) dan klasifikasinya.



Beberapa keadaan di bawah ini penting untuk menginterpretasikan nilai koefisien CU, diantaranya:
1.  nilai deviasi atau selisih tebal air antara pengukuran dengan rerata total merupakan representasi besaran nilai berlebih atau kurangnya tebal air yang diaplikasikan dan bukan menyatakan nilai surplus atau defisit air irigasi. 
     Air yang sedikit akan menimbulkan tegangan lengas tanah yang tinggi, tanaman menjadi stres, dan pada akhirnya akan mengurangi produksi. sedangkan air yang berlebih akan mengurangi produksi tanaman melalui pencucian unsur hara, kondisi anaerob daerah perakaran, munculnya penyakit dan menghambat pertumbuhan tanaman.
2.  nilai CU mengindikasikan, sejauh mana keseragaman aplikasi tebal air irigasi, dan tidak memberikan indikasi kekurangan-kekurangan tertentu pada lahan tersebut. 

Nilai koefisen keseragaman (CU) 100 % hampir mustahil diperoleh,  yang berarti aplikasi sprinkler tanpa ada hambatan dan tanpa faktor pembatas lingkungan. Nilai CU dibawah 60 % biasanya disebabkan oleh aplikasi sprinkler pada lahan yang mempunyai topografi berombak, nozel yang sudah aus maupun tersumbat, dan atau aplikasi sprinkler pada kondisi yang berangin. Nilai koefisien CU yang direkomendasikan sangat bergantung pada jenis tanaman dengan sistem perakaran yang berbeda. Jenis tanaman yang mempunyai perakaran dalam seperti jagung, kapas, bit, direkomendasikan nilai CU antara 75 - 83 %. Nilai minimal koefisien CU untuk jenis tanaman dengan sistem perakaran dangkal, seperti sayuran adalah 85 %. Apabila aplikasi pupuk kimia yang dibarengkan dengan irigasi sprinkler, maka disarankan nilai minimum koefisien CU sebesar 80 %.

Keseragaman Distribusi (DU)
Keseragaman distribusi didefinisikan sebagai rasio antara akumulasi kedalaman terkecil dengan rerata kedalaman pada keseluruhan distribusi. Distribusi ini juga disebut distribusi keseragaman quarter terendah dan biasanya digunakan sebagai ukuran keseragaman distribusi sistem irigasi permukaan.


Kekurangan penggunaan nilai keseragaman DU adalah tidak bisa menunjukkan berapa besar tingkat keringnya pada titik di lokasi area irigasi. Persamaan untuk menghitung keseragaman distribusi adalah:






              Nilai keseragaman distribusi (DU) merupakan fungsi dari P = tekanan sprinkler, DP = variasi tekanan sprinkler, S = jarak spasi penempatan sprinkler, dn = diameter nozel, WDP = pola distribusi air, dan WS = kecepatan angin saat aplikasi sprinkler, faktor-faktor tersebut dapat dituliskan DU = f(P, DP, S, dn, WDP, WS). 

Nilai DU 100% dapat diartikan bahwa setiap tanaman akan menerima jumlah air yang sama dalam area sistem irigasi tersebut. Nilai koefisien keseragaman yang tinggi dapat diperoleh dengan cara mendesain sistem irigasi yang baik, tentu saja hal ini akan menimbulkan biaya yang tinggi, sehingga harus mempertimbangkan antara nilai DU yang tinggi dengan keuntungan ekonomisnya.


Hubungan antara nilai CU dan DU
Pada data yang sama, nilai DU akan lebih rendah dari CU. Nilai CU > 70 % diasumsikan tebal air yang diterima oleh permukaan lahan cenderung mengikuti distribusi normal. Karena bentuk kurva distribusi normal adalah simeteris terhadap nilai rata-rata, maka pada keadaan tersebut, jika rata-rata tebal aplikasi adalah µ, dan sama dengan tebal air irigasi yang dibutuhkan tanaman d,  maka 50 % area irigasi akan menerima sejumlah air yang kurang, sedangkan 50 % sisanya akan menerima air yang berlebih atau memperoleh irigasi yang cukup. Sehingga nilai CU tersebut dapat dituliskan:





Sehingga hubungan antara koefisien Cu dan DU dapat disederhanakan menjadi:




contoh analisa kinerja sprinkler:





































Tanah Sebagai Sistem Dispersi Tiga Fase

Suatu sistem yang terdiri dari bahan kimia tunggal bisa juga bersifat fase tunggal jika sifat fisik sistem seragam, sistem ini disebut homogen. Contoh badan air yang seluruhnya mengandung es. Suatu sistem yang tersusun dari bahan kimia tunggal, juga dapat bersifat heterogen jika bahan tersebut menampakkan sifat-sifat berbeda pada tempat berbeda dalam sistem tersebut. Suatu tempat dalam dalam sistem secara fisik disebut fase.
Suatu sistem yang terdiri dari beberapa bahan bisa juga bersifat fase tunggal, contoh larutan garam dan air adalah cairan homogen. Sistem yang tersusun dari beberapa bahan bisa juga bersifat heterogen. Tidak hanya berbeda antara fase satu dengan yang lainnya, namun juga antara bagian-bagian dalam tiap fase dan batasan antar fase dengan sekelilingnya. Pertemuan antar fase ini penting dalam menjelaskan kejadian absorbsi, tegangan permukaan, gesekan yang semuanya bergantung pada luas pertemuan antar fase per satuan volume.
Tanah adalah sistem yang heterogen, berfase banyak, rumit, bersifat dispersi, sarang, karena luas pertemuan antar fase per satuan volume sangat besar. Kondisi dispersi dari tanah dan kegiatan antar fase akan menghasilkan peristiwa seperti adsorbsi air dan bahan kimia, pertukaran ion, adhesi, pengembangan dan pengkerutan, dispersi dan penggumpalan, serta kapilaritas.
Tiga fase yang umum terdapat dalam tanah yaitu fase padat berupa matriks tanah, fase cair berupa air tanah yang selalu mengandung bahan-bahan terlarut, sehingga disebut larutan tanah, dan fase gas yaitu atmosfer tanah. Matriks padat tanah terdiri dari partikel-partikel dengan komposisi kimia, meneralogi, ukuran, bentuk dan orientasi yang berbeda. Gambar berikut menunjukkan komposisi volume tanah dengan tekstur sedang, pada kondisi dianggap optimum untuk pertumbuhan tanaman.

Hubungan Volume dan Massa Penyusun Tanah
       Hubungan volume dan massa penyusun tanah dapat digunakan dalam mendifinisikan parameter-parameter dasar yang sangat berguna dalam mencirikan kondisi fisik suatu tanah. Gambar di bawah merupakan skematis dari tanah yang menunjukkan hubungan tersebut. Massa ditunjukkan sebelah kanan, yang terdiri dari massa udara Ma, dimana mendekati 0 apabila dibandingkan dengan massa padatan Ms, sedangkan massa air yaitu Mw. Volume dari komponen yang sama ditunjukkan pada sisi kiri, yaitu volume udara Va, volume air Vw, dan volume padatan Vs.

Kerapatan jenis tanah (ρs)
            Pada tanah mineral, kerapatan jenis rata-rata adalah 2,6 – 2,7 gr/cm3. Terdapatnya oksida besi dan mineral berat dalam tanah akan menigkatkan kerapatan jenis rata-rata, sedangkan bahan organik akan memperkecil nilai rata-rata ρs.

Kerapatan massa kering/isi (ρb)
            Kerapatan isi menyatakan perbandingan massa tanah kering terhadap volume total tanah. Maka kerapatan isi selalu lebih kecil dibandingkan kerapatan jenis. Jika pori-pori menempati setengah dari volume tanah, maka kerapatan isi setengahnya kerapatan jenis, yaitu 1,3 – 1,35 gr/cm3.  Pada tanah pasir, bisa mempunyai nilai kerapatan isi 1,6 gr/cmpada tanah agregat lempung dan tanah liat 1,1 gr/cm3. Berdasarkan skema diatas, maka nilai kerapatan isi adalah:

Porositas (f)
            Porositas adalah indeks volume relatif pori-pori dalam tanah. Nilai porositas berkisar antara 0,3 – 0,6 atau 30 – 60 %. Tanah bertekstur kasar cenderung mempunyai porositas yang lebih kecil dibandingkan dangan tanah bertekstur halus. 


Perbandingan pori (e)
            Perbandingan pori merupakan rasio antara volume pori dengan volume massa tanah. Perbandingan pori lebih banyak digunakan pada bidang teknik tanah dan mekanika tanah, sedangkan porositas sering digunakan pada kajian fisika tanah bidang pertanian. Nilai perbandingan pori (e) beragam antara 0.3 – 2.0.

Kandungan lengas tanah
                      Kandungan lengas tanah dapat dinyatakan dengan berbagai cara, yaitu relatif terhadap massa padatan, relatif terhadap total massa, relatif terhadap volume padatan, relatif terhadap volume total, dan relatif terhadap volume pori. Namun yang sering digunakan adalah indeks relatif terhadap massa padatan, volume total dan tebal air.
a.    Kandungan lengas persen berat (w)
Indeks ini merupakan massa air relatif terhadap massa partikel tanah kering, sering disebut sebagai kandungan air gravimetrik. Istilah tanah kering adalah tanah yang dikeringkan oven sampai mencapai kesetimbangan, pada suhu 105 oC. Tanah kering udara masih lebih banyak mengandung air dibandingkan tanah kering oven, hal ini disebabkan oelh penyerapan uap yang disebut sabagai daya higrokospis. Pada tanah liat kandungan lengas jenuh bisa mencapai 25 – 60 % yang bergantung pada kerapatan isi. Kandungan lengas jenuh pada tanah liat jauh lebih tinggi bila dibandingkan pada tanah pasiran.

b.    Kandungan lengas persen volume (θ)
Kandungan lengas volume sering diistilahkan dengan dengan kandungan lengas volumetrik yang dihitung berdasarkan volume tanah total. Pada tanah pasir, nilai θ antara 40 – 50 %, pada tanah bertekstur sedang mendekati 50 %, dan pada tanah liat bisa mencapai 60 %. Penggunaan indeks ini lebih bermanfaat dibandingkan kandungan lengas gravimetrik terutama berkaitan dengan jumlah air yang ditambahkan melalui irigasi, hujan dan dapat menyatakan besarnya air yang berkurang karena evapotranspirasi dan drainase.

c.    Tebal air (dw)
Selain itu nilai θ juga dapat digunakan untuk menyatakan kedalaman/tebal air (dw) per satuan kedalaman tanah. Tebal air merupakan hasil perkalian antara kadar lengas volumetrik dengan tinggi atau kedalaman total yang dapat diperoleh dari perbandingan volume total dengan luas permukaan.

Derajad Kejenuhan (s)
           Indeks ini menyatakan perbandingan relatif antara volume air yang ada pada tanah dengan volume pori-pori. Indeks kejenuhan sama dengan 0 pada tanah kering, hingga 1 pada tanah yang benar-benar jenuh. Namun kondisi yang benar-benar jenuh jarang tercapai, karena beberapa bagian udara selalu terdapat dan terperangkap pada tanah yang sangat basah.



Porositas terisi udara (fraksi kandungan udara, fa)
            Indeks ini mengukur kandungan relatif udara dari tanah dan merupakan kriteria yang penting terhadap aerasi tanah. Indeks ini berhubungan secara negatif terhadap derajad kejenuhan, s ( fa = f – s).



Sebagai latihan tentukan hubungan beberapa parameter dasar berikut ini:
1.  porositas (f) dengan perbandingan pori (e)
2.  porositas (f) dengan kerapatan massa isi (ρb)
3.  derajad kejenuhan (s) dengan kandungan lengas volumetrik (θ)
4.  kandungan lengas gravimetrik (w) dengan kandungan lengas volumetrik (θ)
5.  porositas terisi udara ( fa) dengan dengan kandungan lengas volumetrik (θ)





Bagaimana Cara Membuat Review Sebuah Jurnal

Dalam tutorial ini, saya hanya berbagi tulisan dari bapak Anto Satrio Nugroho,  seorang peneliti di Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTIK-BPTP) tentang bagaimana mereview sebuah jurnal. Berikut ulasan beliau tentang bagaimana seharusnya review jurnal tersebut dikerjakan. 

Catatan dari Kuliah Research Methodology, yg saya sampaikan di Jur.IT-SGU,  23 September 2008 

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan literature review, adalah sbb:
1. Jangan pernah percaya bahwa sebuah paper itu perfect. Nasehat yang sering       diberikan: terhadap data yang disajikan, mungkin bisa saja 70% anda percaya,  tetapi untuk bagian diskusinya, jangan lebih dari 50%. 
2. Bacalah bagian introduction, dan cari informasi berikut:
     a.  Objective dari riset yang dilakukan 
     b.  Mengapa author memilih problem itu? sisi yang manakah yang menarik dan signifikan? 
     c.  Dimana letak originality penelitian tsb.? Apakah penelitian itu mengemukakan satu pendekatan baru terhadap masalah yang sudah ada, ataukah memakai             metode yang sudah ada untuk memecahkan satu aplikasi baru yang menarik,           ataukah baik pendekatan maupun aplikasinya semua baru.?
     d. Masalah apakah yang ingin dijawab oleh author.? (problem formulation)
3.  Bacalah bagian diskusi, dan coba cari informasi berikut:
     a.  Solusi apakah yang dipakai oleh author untuk menjawab pertanyaan riset di                  atas?  
     b.  Bagaimana author mendesain eksperimen untuk menguji sistem yang dibuat?  
     c.  Apakah eksperimen itu berhasil? 
     d.  Apakah ada contoh eksperimen yang tidak berhasil?  (mustinya selalu ada,         karena tidak ada penelitian yang sempurna). Bagaimana author membahas penyebabnya? Ataukah penyebab itu tidak dibahas sama sekali? 
4. Bacalah bagian conclusion dan coba cari informasi berikut:
     a.  Apakah kesimpulan itu menjawab semua pertanyaan yang diajukan pada         bagian introduction? 
     b.  Dimanakah letak kontribusi terbesar dari penelitian itu.? 
     c.  Apakah ada masalah penelitian yang masih belum diselesaikan? 
5. Apakah anda memiliki ide lain untuk memecahkan masalah yang sama? 
6. Dimanakah kelemahan dari paper yang anda baca?  (isi, penyajian, dsb) 
7. Bacalah bagian referensi dan coba cari informasi berikut:
    a.  Apakah referensi yang dipakai uptodate (tahun-tahun terakhir)? ataukah paper yang dijadikan referensi sudah terlalu lama? 
     b.  Sekiranya anda tertarik untuk mengerjakan riset pada tema yang berdekatan, catatlah paper atau buku penting yang tercantum pada bagian referensi paper tsb. 

Demikian tutorial tentang review jurnal,  semoga bermanfaat...
reblog:
https://asnugroho.wordpress.com/2008/09/24/mereview-paper-2/#comment-15058





Klasifikasi Iklim


Pendekatan Klasifikasi Iklim
            Thornthwaite (1933) menyatakan tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan perincian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi unsur-unsur iklim yang benar-benar aktif, terutama air dan panas.
         Klasifikasi iklim menggambarkan hubungan sistematik antara unsur iklim dan pola tanaman dunia. Klasifikasi iklim berdasarkan pola tanaman biasanya dikaitkan dengan hutan, gurun, padang rumput dan thundra. Pemakaian batas sederhana curah hujan atau suhu dalam klasifikasi iklim menunjukkan hubungan antara unsur panas dan air. Dalam keadaan suhu tinggi tanaman memerlukan banyak air untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi. Maka, curah hujan dan evapotranspirasi potensial menjadi fokus dalam menetapkan kriteria iklim.
        Iklim suatu tempat disebut stabil apabila keadaan cuaca selama setahun tidak menyimpang dari keadaan rata-rata, sebaliknya disebut tidak stabil apabila sering terjadi penyimpangan besar dari keadaan cuaca rata-rata. Dikenal beberapa sistem kilasifikasi iklim yang terdapat di Indonesia, namun penggunaanya didasarkan pada bidang tertentu, dalam bidang pertanian sendiri masih ditentukan oleh jenis tanaman, kondisi daerah yang ditinjau.

A.     Klasifikasi Iklim Koeppen
Koppen membagi iklim di bumi menjadi 5 kelompok utama (A,B, C, D dan E) yang berpedoman dengan 5 kelompok vegetasi alamiah yang menutupi permukaan bumi.
A = iklim hujan tropik
Af = iklim hutan hujan tropik
Am = iklim muson tropis
Aw = iklim savana
B = iklim kering
BS = iklim stepa
BW = iklim gurun
C = iklim sedang berhujan
Cw = iklim sedang dengan musim dingi yang kering
Cs = iklim sedang dengan musim panas yang kering
Cf = iklim sedang tanpa musim kering yang jelas
D = iklim hutan bersalju (kontinental
Dw = iklim kontinental dengan musim dingin yang kering
Df = iklim kontinental dengan musim dingin yang basah (humid)
E = iklim kutub
ET = iklim thundra
EF = iklim salju abadi

Dan setiap tipe iklim utama dibagi lagi menjadi:
  1. Penyebaran curah hujan (f, s, w)
f = selalu basah
s = bulan kering jatuh di musim panas
w = bulan kering jatuh di musim dingin
  1. Derajad kekeringan (S,W)
S = stepa atau padang rumput di daerah kering
W = gurun kering
  1. Derajad kerendahan suhu (T dan F)
T = suhu rata-rata dalam bulan terpanas > 0 0C tetapi < 10 0C
F = kebekuan abadi, suhu rata-rata < 0 0C

Dengan klasifikasi iklim Koeppen diperoleh luas muka bumi yang termasuk iklim tropis 36,1 %, iklim C 27,2 %, iklim E 18,8 %, iklim B 10,6 % dan iklim D 7,3 %.

Penerapan metode Koeppen pada prinsipnya dapat diterapkan di Indonesia, tetapi variasi curah hujan sangat besar, maka hasil klasifikasi ini sangat kurang menggambarkan keadaan sebenarnya. Contoh; dalam 1 tahun  120, 100, 80, 40 dan 40, terdapat 2 bulan kering. Tetapi setelah dirata-rata jumlah bulan kering menjadi 0 (n0l, tidak ada). Selain itu, di Indonesia tidak ada iklim gurun.
           
B.     Klasifikasi Iklim Thornthwaite
Pentingnya presipitasi untuk tanaman tidak hanya tergantung jumlahnya, melainkan juga intensitas penguapan. Jika penguapan besar, maka jumlah presipitasi untuk tanaman akan lebih kecil, daripada jumlah penguapan yang besar pada jumlah presipitasi yang sama. Nisbah P-E disebut indeks P-E dan dihitung dengan persamaan;
Nisbah P-E = P/E
Karena pengamatan data penguapan sangat kurang, maka hubungan antara suhu (T) yaitu sebagai berikut:









Dengan menghitung P-E indeks, Thornwhtaite membagi ke dalam 5 daerah kelembapan:


Kelima daerah kelembapan ini dibagi dalam 4 jenis distribusi hujan musiman:
r = sepanjang tahun hujan
s = kekurangan curah hujan dalam musim panas
w = kekurangan curah hujan dalam musim dingin
d = sepanjang tahun kekurangan curah hujan
Thorntwhaite menggunakan tinjauan suhu (T) yaitu dengan nisbah T-E. Di daerah kutub koefisien panas sangat rendah, dan nisbah T-E adalah (nol) pada batas iklim tundra.
Daerah suhu menurut Thorntwhaite

Menurut klasifikasi iklim Thorntwhaite daerah hutan hujan tropis jauh lebih sedikit, hal ini berbeda dengan hasil Koeppen dimana luasnya paling tinggi. Namun penggunaan metode Thorntwhaite lebih memuaskan daripada Koeppen, namun karena data penguapan sangat kurang sehingga sulit diterapkan.
Penerapan metode Thorntwhaite untuk daerah tropis seperti Indonesia, suhu sepanjang tahun hampir konstan sehingga variasi indeks P-E dari tempat satu ke tempat yang lain hanya tergantung presipitasi saja. Sehingga klasifikasi ini tidak cocok untuk daerah tropis.

C.  Metode Mohr
            Berdasarkan penelitian tanah, Mohr membagi tiga derajad kelembapan, yaitu:
  1. Jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan > 100 mm, disebut bulan basah karena P melebihi E
  2. Jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan < 60 mm, disebut bulan, E lebih banyak dari air tanah daripada dari curah hujan.
  3. Jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan antara 60 – 100 mm, dinamakan bulan lembab, P dan E ± seimbang.
Tahapan yang dilakukan Mohr adalah:
  1. Mencari bulan kering dan bulan basah.
  2. Mencari jumlah rata-rata seperti pada metode Koeppen (kurang sesuai untuk iklim di Indonesia).
D.  Klasifikasi Iklim Schmidth – Ferguson
Sistem  klasifikasi  ini  sangat  terkenal  di  Indonesia  dan  banyak  digunakan dalam  bidang kehutanan dan perkebunan. Klasifikasi ini  sebenarnya  merupakan modifikasi  atau  perbaikan  dari  sistem  klasifikasi  Mohr  yang  telah  ada sebelumnya dan digunakan di Indonesia. Penentuan tipe iklim menurut klasifikasi ini  hanya  memperhatikan  unsur  iklim  hujan  dan  memerlukan  data  hujan bulanan paling sedikit 10 tahun. Kriteria yang digunakan adalah penentuan bulan kering, bulan lembab dan bulan basah dengan pengertian sebagai berikut :
Bulan kering (BK)   : bulan dengan hujan < 60 mm
Bulan lembab (BL)   : bulan dengan hujan antara 60 – 100 mm
Bulan basah (BB)     : bulan dengan hujan > 100 mm.
Schmidth & Ferguson menentukan BB, BL, dan  BK tahun demi tahun selama periode  pengamatan  yang  kemudian  dijumlahkan  dan  dihitung  rata-ratanya. Penentuan tipe iklimnya mempergunakan nilai Q yaitu : 

Dari  perhitungan  nilai  Q  tersebut  dan  dengan  menggunakan  segi  tiga  Schmidth  & Ferguson maka didapatkan 8 tipe iklim dari A hingga H sebagai berikut : 



E.  Klasifikasi Iklim Oldeman
Klasifikasi ini tergolong klasifikasi yang baru di Indonesia dan pada beberapa hal  masih  mengundang diskusi  mengenai batasan atau  kriteria  yang digunakan. Namun  demikian,  untuk  keperluan  praktis  klasifikasi  ini  cukup  berguna khususnya  dalam  klasifikasi  lahan  pertanian  tanaman  pangan  di  Indonesia. Oldeman  telah  membuat  sistem  baru  dalam  klasifikasi  iklim  yang  dihubungkan dengan pertanian menggunakan unsur iklim hujan. Kriteria dalam klasifikasi iklim ini didasarkan pada  perhitungan bulan basah  (BB), bulan lembab (BL) dan bulan kering  (BK)  yang  batasannya  memperhatikan  peluang  hujan,  hujan  efektif  dan kebutuhan air tanaman.
Konsep yanga dikemukakan Oldeman adalah :
1.    Padi sawah akan membutuhkan air rata-rata per bulan 145 mm  dalam musim hujan.
2.    Palawija membutuhkan air rata-rata 50 mm per bulan pada musim kemarau.
3.    Hujan  bulanan  yang  diharapkan  mempunyai  peluang  kejadian  75  %  sama  dengan 0,82 kali  hujan rata-rata bulanan dikurangi 30
4.    Hujan efektif untuk padi sawah adalah 100 %
5.    Hujan efektif untuk palawija dengan tajuk tanaman tertutup rapat sebesar 75 %.

Dengan  konsep  pemikiran  di  atas  maka  dapat  dihitung  hujan  bulanan  yang diperlukan  untuk padi sawah maupun palawija (x) dengan menggunakan  data jangka panjang yaitu : 
Padi sawah           : 145   = 1,0 (0,82x – 30)
x  = 213 mm/bulan.
Palawija                : 50   = 0,75 (0,82 x – 30)
x  = 118 mm/bulan
Nilai  213 dan  118 mm  per  bulan  selanjutnya  dibulatkan menjadi  200 dan  100 mm  per bulan  yang  digunakan  sebagai  batas  penentuan  bulan  basah  (BB)  dan  bulan  kering (BK).
Bulan Basah (BB)    : bulan dengan rata-rata curah hujan > 200 mm
Bulan lembab (BL)   : bulan dengan rata-rata curah hujan 100 – 200 mm
Bulan Kering (BK)    : bulan dengan rata-rata curah hujan < 100 mm

Dalam  penentuan  klasifikasi  iklimnya,  Oldeman  menggunakan  ketentuan  panjang periode bulan basah dan bulan kering berturut-turut.
Tipe  utama  klasifikasi Oldeman  dibagi  menjadi 5  tipe  yang  didasarkan  pada  jumlah bulan basah berturut-turut. Sedangkan subdivisinya dibagi menjadi 4 yang didasarkan pada  jumlah  bulan  kering  berturut-turut.  Berikut  pembangian  tipe  iklim  utama  dan subdivisinya. 


Dari  lima  tipe  utama  dan  empat  sub  divisi  tersebut  maka  tipe  iklim  dapat dikelompokkan menjadi 17 daerah agroklimat Oldeman mulai dari A1 sampai E4. Untuk lebih  jelasnya lihat  segitiga  Oldeman  pada  Gambar  2.  Dalam  hubungan  dengan pertanian  khususnya  tanaman  pangan,  Oldeman mengemukakan  penjabaran  tiap-tiap tipe agroklimat sebagai berikut:







Related Post

Instal Add Ins Analysis Toolpak di Excel

Apa itu Add Ins "Analysis Toolpak" Add ins adalah suatu program yang dapat ditambahkan pada program utama (build).   Analys...

Joko Suryanto, S.TP., M. Sc
Tahun 2007 hingga sekarang aktif mengajar di Program Studi Teknik Pertanian STIPER Kutai Timur pada minat studi Teknik Sumberdaya Lahan dan Air.
Alamat kontak:
PRODI Teknik Pertanian STIPER Kutai Timur
Jl. Soekarno-Hatta No. 1 Sangatta Utara, Kutai Timur Kalimantan Timur 75387